Bebagai kasus korupsi di Indonesia menjadi perhatian serius pemerintah karena berpotensi menghambat pembangunan dan berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia. Penanganan korupsi agar berjalan optimal, pemerintah saat ini mengedepankan aspek pencegahan korupsi dengan meningkatkan peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Strategi yang ditempuh adalah penguatan sinergitas antara Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pencegahan terjadinya korupsi.
Sinergitas dalam kolaborasi APIP dan APH didasarkan Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa APIP dan APH pada saat menerima aduan masyarakat berindikasi korupsi harus melakukan pembahasan bersama melalui koordinasi untuk menentukan langkah penanganan selanjutnya. Apabila APH menerima aduan maka harus berkoordinasi dengan APIP dan apabila hasil pemeriksaan APH ternyata terbukti adanya penyimpangan administratif maka dilimpahkan kepada APIP untuk ditangani lebih lanjut, tetapi jika hasil pemeriksaan terbukti ada pelanggaran pidana korupsi maka diproses lebih lanjut oleh APH. Dengan demikian APIP berperan sebagai filterisasi aduan kasus-kasus indikasi korupsi melalui audit terlebih dahulu. Demikian kata Dhoni Widianto di Ruang Sidang Program Pasca Fisip Undip, Rabu 5 Januari 2023.
“Sepanjang tahun 2018- 2020 banyak aduan berindikasi korupsi di Jawa Tengah, faktanya belum pernah dilakukan rapat koordinasi untuk melakukan proses verifikasi maupun analisa aduan masyarakat yang diterima, bahkan langsung ditangani oleh instansi masing-masing. Sesuai PKS dan pedoman kerja penanganan aduan masyarakat antara APIP dan APH seharusnya dilakukan pertukaran informasi, proses verifikasi, proses analisa dan pembahasan bersama oleh pejabat penghubung baik APIP dan APH yang akan membahas bersama setiap menerima aduan indikasi korupsi melalui forum bersama. Sejak dibentuk forum kolaborasi, Inspektorat, Ditkrimsus dan Asspidsus sudah menetapkan admin dan pejabat penghubung yang akan membahas bersama setiap menerima aduan indikasi korupsi melalui forum resmi kolaborasi” kata Plt Inspektur Provinsi Jawa Tengah.
Mempertahankan Disertasi “Collaborative Governance Penanganan Aduan Masyarakat Berindikasi Korupsi Di Provinasi Jawa Tengah” dalam Ujian Akhir Program Doktor Administrasi Publik dengan promotor Prof.Dr.Pujiono,M.Hum, Dr.Retno Sunu Astuti,M.Si selaku co-Promotor dan Wijayanto,Ph.D selaku Co-Promotor 2, menurut Dhoni Widianto dalam prakteknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam kolaborasi penanganan aduan korupsi di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah hanya melibatkan aktor pemangku kepentingan dari inspektorat selaku APIP dengan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi dan Direktorat Kriminal Khusus Polda selaku APH. Sedangkan keterlibatan aktor lain seperti pemerintah pusat dalam hal ini Itjen kemendagri dan masyarakat dan LSM pelapor tidak terlibat dalam proses kolaborasi. Masyarakat pelapor/LSM pelapor sebagai bentuk peran serta masyarakat yang melaporkan aduan indikasi korupsi di Provinsi Jawa Tengah juga belum pernah dilibatkan dalam forum APIP dan APH untuk melakukan verifikasi dokumen laporan aduan sesuai SOP. Keterlibatan pemangku kepentingan dalam suatu kolaborasi membawa dampak bagi keberlangsungan suatu kegiatan dan bagi pemangku kepentingan yang terlibat juga akan merasakan dampak dan manfaat.
“Beberapa rekomendasi yang perlu segera ditindaklanjuti yaitu : 1) Pemerintah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ruang lingkup, pelaksanaan kolaborasi, pembiayaan, sosialisasi, supervisi dan evaluasi kolaborasi APIP dan APH dalam penanganan aduan masyarakat berindikasi korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai tindak lanjut Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, 2) Inspektorat Jenderal Kemendagri selaku pihak yang menginisiasi kebijakan kolaborasi APIP dan APH dalam penanganan aduan masyarakat berindikasi korupsi perlu melakukan supervisi secara periodik dan evaluasi program sebagai bahan pengambilan kebijakan di tingkat pusat untuk mengetahui efektifitas kolaborasi secara nasional. Kegiatan supervisi melibatkan unsur instansi tingkat pusat lainnya seperti Jampidsus Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri dengan melakukan kunjungan di daerah. dan 3)Inspektorat sebagai pihak fasilitator kepemimpinan kolaborasi dengan pembentukan sekretariat bersama (sekber) dengan menyiapkan sumber daya yang dibutuhkan dalam forum tersebut, seperti pembiayaan, menyusun jadwal pertemuan bersama, penguatan SOP kolaborasi, dan SDM di sekretariat”, demikian papar pria kelahiran Pekalongan 15 Oktober 1973.